dejabar.id – Belakangan ini tengah ramai di media sosial mengenai foto dan video seorang wanita berseragam Pegawai Negeri Sipil (PNS) tengah beradegan mesum. Terungkap bahwa video tersebut disebar oleh pelaku pria dengan sengaja.
Pria pemeran video porno tersebut ialah RIA (31). Sedangkan sang wanita, inisial RJ (30). Keduanya merupakan guru honorer SMK di Kabupaten Purwakarta. Menurut keterangan polisi materi porno sengaja disebar di media sosial oleh RIA karena dirinya merasa sakit hati dan cemburu ditinggalkan RJ.
Fenomena menyebarkan video, foto, atau materi intim dengan pasangan ini diketahui dengan sebutan revenge porn atau porno balas dendam. Menurut Tuti, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum PIK, yang dilansir dari Kumparan.com, revenge porn merupakan bentuk paksaan, ancaman terhadap seseorang, umumnya perempuan, untuk menyebarkan konten porno berupa foto atau video. Perilaku tersebut bertujuan untuk mempermalukan, mengucilkan, dan menghancurkan hidup korban.
Tak sedikit korban revenge porn sering merasakan kebingungan hingga sebabkan depresi. Kendala dalam penanganan korban revenge porn yakni rasa malu atau takut, hilang kepercayaan diri, kurang dukungan dari lingkungan, dan kurangnya informasi.
Lantas, apa yang harus dilakukan korban revenge porn?
- Bercerita dengan orang yang dipercayai
Korban amat membutuhkan dukungan orang-orang sekitar, terutama keluarga. Menurut Aktivis Gender, Tunggal Pawestri, dikutip dari Kompas.com, jika orang-orang terdekat–terutama orangtua–dalam posisi mendukung korban, pelaku akan cenderung lebih mudah ditangkap. Jika tidak nyaman berbicara dengan orangtua, cobalah berbicara dengan aktivis atau organisasi perempuan.
Sementara itu, Ayoe mengatakan bahwa orangtua sebetulnya juga punya peran atas kesalahan yang dilakukan anak. Keluarga idealnya melihat kembali pola asuh mereka dulu sehingga menghasilkan anak yang memiliki konsep diri lemah.
2. Mencari bantuan kepada lembaga pendamping (konsultasi)
Jika merasa takut, cobalah untuk mencari bantuan ke organisasi-organisasi perempuan ataupun bantuan hukum terdekat.
Tunggal Pawestri menyarankan para korban untuk mencari bantuan salah satunya ke LBH APIK karena sudah memiliki banyak pengalaman menangani isu-isu perempuan serta bisa menjangkau hingga ke daerah-daerah.
3. Mencari bantuan ke psikolog
Jika korban sangat ketakutan dan terganggu secara emosional atau psikis, Tunggal akan menyarankan korban pergi ke psikolog untuk konseling.
“Karena saya takut kalau mereka langsung ke polisi akan menghadapi trauma kalau tidak kuat,” ucapnya.
4. Menonaktifkan media sosial dan jangan lupa menyimpan bukti
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin juga menyarankan korban untuk “menghilang” atau bahkan menonaktifkan semua media sosial. Jika perlu, korban juga disarankan untuk mengganti nomor telepon dan ponsel. Hal ini menurutnya penting untuk psikologis korban agar korban tidak lagi mendengar omongan-omongan yang tidak berkenan dari orang lain. Namun, jangan lupa menyimpan bukti-bukti terkait, misalnya percakapan dengan pasangan.
“Korban tidak perlu tahu apa yang terjadi di dunia maya tersebut. Buatlah sesuatu yang baru dengan dirinya,” kata Mariana.
Sumber: Kumparan dan Kompas
Leave a Reply