DEJABAR.ID, CIREBON – Rokok seolah ikut menjadi salah satu bagian dari sejarah di Indonesia. Barang komoditi berbahan utama tembakau ini sudah populer dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu.
Awalnya, tembakau dibawa ke pulau Jawa oleh pedagang dari Portugis pada sekitar tahun 1500-1600. Kata ‘tembakau’ sendiri merupakan kata turunan dari kata ‘tumbaco’ dalam bahasa Portugis, daripada kata ‘tobacco’ dalam bahasa Inggris.
Catatan tentang kapan pastinya penduduk Indonesia mulai merokok belum ada yang tahu pasti. Namun, menurut catatan Thomas Stamford Raffles dan De Condolle, kebiasaan merokok dan tembakau sudah ada di pulau Jawa sekitar tahun 1600. Dalam buku yang berjudul ‘Rokok Kretek, Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara’ (1987) karya Amen Budiman dan Onghokham menuliskan bahwa “…Sultan Agung Raja Mataram tahun 1613-1645 merupakan seorang perokok berat”.
Menurut Edric Chandra selaku perwakilan Wismilak Inti Makmur Tbk mengatakan, dalam buku ‘Kudus dan Sejarah Rokok Kretek’ karya Solichin Salam disebutkan bahwa orang-orang lndonesia pada masa itu mempunyai suatu kebiasaan untuk menggulung rokoknya sendiri, dengan cara yang amat sederhana susunan maupun bentuknya.
“Oleh sebab itu, rokok bagi penduduk asli lndonesia di zaman itu belum merupakan dagangan yang menarik. Sesudah adanya usaha untuk mencampur tembakau dengan berbagai rempah-rempah seperti cengkeh misalnya, atau damar dan akar-akar wangi, bentuk kesederhanaan rokok itu mulai beralih ke arah barang dagangan yang lebih berarti dan menguntungkan,” jelasnya saat ditemui dejabar.id di sela kegiatan Wismilak Pentas Seni di Makorem 063/Sunan Gunung Jati, Kota Cirebon, Minggu (9/9/2018) malam.
Kemudian, lanjut Edric, ditemukanlah racikan rokok dengan mencampur tembakau dengan cengkeh, yang ditemukan pertama kali oleh seorang warga Kudus, yaitu Haji Djamari pada tahun 1800. Kisah penemuannya berawal ketika dia merasa sakit pada bagian dada, lalu mengoleskan minyak cengkeh untuk meredakan sakitnya dan ternyata benar sakitnya pun reda.
Djamari lalu mempunyai ide untuk merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau lalu dilinting menjadi rokok. Setelah rutin menghisap rokok ciptaanya, Djamari merasa sakitnya hilang. Akhirnya, permintaan rokok obat ini pun mengalir dan Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh.
“Tahun 1890, Djamari meninggal dunia. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuanya itu yang terus berkembang,” jelas Edric.
Selain Djamari, Mbok Nasilah juga dianggap sebagai penemu kretek. Penemuanya bermula dari usahanya untuk menghentikan kebiasaan nginang para kusir yang sering mangkal di warungnya pada tahun 1870. Ampas nginang yang diludah oleh penginangnya, mengotori warungnya. Rokok yang dijual di warungnya untuk menghentikan kebiasaan nginang itu ternyata sangat diminati oleh para kusir maupun pedagang keliling yang sering singgah di warungnya, termasuk juga Nitisemito.
“Rokok racikan Mbok Nasilah adalah campuran tembakau dengan cengkeh, rokok itu lalu dibungkusnya dengan dengan daun jagung kering (Klobot) setelah itu diikat dengan benang,” tuturnya.
Nitisemito kemudian menikahi Mbok Nasilah pada tahun 1894. Pernikahan tersebut adalah titik awal sejarah pemasaran rokok kretek. Hasil racikan Mbok Nasilah, menejemen produksi, dan pemasaran yang bukan hal baru bagi Nitisemito yang sering kali jatuh bangun dalam dunia wirausaha. Pasangan ini saling mengisi dan berpengaruh dalam sejarah rokok kretek kudus.
Pada tahun 1906, bisnis rokok dimulai oleh HM. Nitisemito dan menjadi produk perdagangan yang memikat di tangan Nitisemito. Inilah awal mula munculnya industri rokok di Kudus.
“Dengan kemunculan tersebut, pada tahun 1909 industri kretek mulai berkembang di daerah Blitar dan sekitarnya, seperti Kediri, Tulungagung, dan di sepanjang lembah sungai Brantas, terutama daerah-daerah di Jawa Timur,” jelasnya.
Pada tahun 1914, rokok merk “Tjap Bal Tiga” milik Nitisemito resmi berdiri di Desa Jati, Kudus. Bisa dikatakan, langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia. Awalnya Nitisemito memberi nama Kodok Nguntal Ulo. Namun, nama tersebut dirasa tidak membawa hoki dan jadi bahan tertawaan banyak orang.
Kejayaan industri kretek Nitisemito dimulai pada tahun 1938. Nitisemito berhasil membangun industri kretek yang mampu memproduksi 10 juta batang rokok perhari dengan jumlah pekerja mencapai angka 10 ribu pekerja.
“Bisa dikatakan, dari sinilah mulai bermunculan industri rokok di Indonesia. Wismilak sendiri berdiri pada tahun 1962,” pungkasnya. (jfr)
Leave a Reply