It Chapter 2 Rilis di Indonesia, Ini Alasan Badut Jadi Sosok Seram


dejabar.id – Film horor It: Chapter Two sudah mulai tayang di bioskop tanah air sejak Rabu (4/9/2019). Film garapan Andy Muschietti ini merupakan sekuel dari film It (2017), dan masih melanjutkan teror dari badut Pennywise di kota kecil Derry.

Sama seperti film pertamanya, It: Chapter Two juga mengadaptasi dari novel berjudul It (1986) karya Stephen King. Novel It disebut menjadi awal mula kemunculan citra badut jahat (evil clown). Dilansir dari Tirto, setelah karakter Pennywise tidak menggambarkan citra badut yang lucu dan menghibur, mulai bermunculan karakter badut jahat lain. Seperti di film The Clown at Midnight (1998), Camp Blood (1999), Clown (2014), hingga karakter pembunuh berantai Twisty the Clown yang muncul di musim keempat serial American Horror Story (2014-2015).

Namun, rupanya ketakutan pada badut sudah ada bahkan sebelum novel It dirilis. Dalam dunia psikologi sebutan untuk rasa takut pada badut adalah coulrophobia. Dilansir dari Insider, para psikolog percaya bahwa kasus coulrophobia, ini mungkin ada hubungannya dengan badut yang sering menjadi subjek cerita-cerita horor, seperti karakter jahat Pennywise. Tetapi sebuah penelitian dari tahun 2008 menemukan bahwa sangat sedikit anak-anak menyukai badut ketika mereka melihatnya di operasi dokter, dokter gigi, atau rumah sakit.

Daripada membawa sukacita, menghiasi lingkungan anak-anak dengan gambar badut mungkin memiliki efek sebaliknya. Bisa jadi karena anak-anak mulai mengasosiasikan wajah-wajah norak dengan sakit atau mendapatkan vaksinasi. Atau mereka mungkin berpikir mereka menyeramkan.

Frank T. McAndrew, seorang psikolog sosial yang telah menjadi semacam ahli dalam ketakutan badut, menerbitkan sebuah penelitian pada tahun 2016, yang dapat membantu menjelaskan perasaan membingungkan yang diberikan badut bagi orang kebanyakan.

McAndrew dan rekannya merekrut 1.341 sukarelawan berusia 18 – 77 tahun dan meminta mereka mengisi survei tentang karakteristik dan perilaku yang mereka anggap menyeramkan. Hasil penelitian menunjukkan pria lebih cenderung dipandang menyeramkan, dan perilaku tak terduga membuat orang tidak nyaman, seperti pola kontak mata yang aneh.

Badut sering melakukan tindakan-tindakan yang tidak biasa dan dibuat-buat. Rasa aneh dan menakutkan ketika melihat badut ini kemudian diperkuat oleh karakteristik mulut yang dirias agar tampak lebih besar dan mata yang seakan melotot.

Menurut psikolog Rami Nader, riasan badut yang begitu berlebihan juga memberi sinyal bahwa mereka sedang menutupi identitas diri, dan hal ini membuat sebagian besar orang merasa tidak nyaman, ujar psikolog Rami Nader.

“Mereka punya ekspresi yang besar dan palsu, yang Anda tahu tidak benar-benar menunjukkan bagaimana perasaan badut tersebut sebenarnya karena tidak ada orang bisa selalu bahagia, tetapi badut tersebut selalu punya wajah yang tersenyum,” kata Nader.

Selain penampakan dan gerak-gerik badut itu sendiri, rasa takut mungkin muncul dari interaksi kita dengan badut. Pakar neurosains Gaines Lewis pernah menulis di Psychology Today, bahwa badut membatasi perasaan kita. Dia menulis, badut memaksa kita untuk tertawa. (Tapi) kita mungkin tidak mau tertawa, sehingga situasinya menjadi, setidaknya, canggung, dan paling buruknya bila dikombinasikan dengan warna-warna yang tidak biasa menjadi menakutkan.