DEJABAR.ID, CIREBON-Perayaan Tahun Baru Imlek identik dengan Vihara atau klenteng. Masyarakat etnis keturunan Tionghoa berdatangan ke Vihara atau klenteng untuk bersembahyang atau berdoa. Karena, di dua tempat itulah sentra perayaan Imlek atau Cap Go Meh.
Di Kota Cirebon sendiri, sentra perayaan Imlek berada di Vihara Dewi Welas Asih di Jalan Kantor. Namun selain itu, ada juga yang dijadikan sebagai tempat perayaan Imlek, yakni di Klenteng Talang, yang letaknya tidak begitu jauh dengan Vihara Dewi Welas Asih. Meskipun begitu, perayaan Cap Go Meh masih menginduk ke Vihara Dewi Welas Asih.
Klenteng ini berada di Jalan Talang, persis di samping Gedung British American Tobacco (BAT). Klenteng ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan klenteng lainnya, yakni tidak adanya ornamen seperti patung naga, serta bangunannya menghadap ke laut.
Berbeda dengan Vihara Dewi Welas Asih yang diperuntukkan peribadatan umat agama Budha, Klenteng Talang diperuntukkan peribadatan umat Konghucu. Karena itulah, tempatnya disebut klenteng, bukan Vihara.
Menurut Ketua Majelis Ulama Konghucu Indonesia Kota Cirebon, Ciu Kong Giok atau Teddy Setiawan, Keberadaan Kenteng Talang tak bisa dipisahkan oleh kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Cirebon pada abad ke 15. Hal tersebut dikarenakan bangunan klenteng ini merupakan salah satu peninggalan Cheng Ho.
Teddy menceritakan, waktu itu ada kapal Laksamana Cheng Hi yang rusak, akhirnya mereka berhenti di tengah laut. Dari kejauhan, Kota Cirebon ini menurut Cheng Ho sangat bagus, karena memiliki latar belakang Gunung Ciremai. Akhirnya, dia menyuruh anak buahnya untuk menyelidiki Cirebon dan mencari kayu supaya bisa memperbaiki kapal. Setelah itu, bawahan Cheng Ho, Laksamana Haji Kung Wu Ping, diutus untuk menjadi perwakilan Tionghoa di sini dan diperintah untuk menetap.
Pada tahun 1415 M, Laksamana Haji Kung Wu Ping mendirikan sebuah mercusuar di atas bukit Gunung Jati, Cirebon. Di sana, dibentuk pula komunitas masyarakat Tionghoa Muslim atau Hanafi di daerah Sembung, Sarindil, serta Talang.
“Kung Wu Ping akhirnya diperintah untuk tinggal di sini,” ujar Teddy saat ditemui Dejabar.id di Klenteng Talang yang beralamat di Jalan Talang, Kota Cirebon, Rabu (6/2/2019).
Adapun Klenteng Talang sendiri, lanjutnya, awalnya dibangun sederhana berpenampilan semi permanen. Fungsinya sebagai kantor administrasi bagi masyarakat Tionghoa di Cirebon yang berada di tepi laut. Karena pada zaman dahulu, sebagian wilayah Cirebon merupakan laut. Dan sekarang air laut semakin surut, hingga dibangun berbagai gedung-gedung.
“Lalu pada tahun 1450-1475, masyarakat Tionghoa di Cirebon, akhirnya putus hubungan dengan Negara Tiongkok,” jelasnya.
Bangunn tersebut kemudian mulai dibuat permanen. Pada zaman pendudukan Jepang, lanjut Teddy, bangunan kantor administrasi tersebut sudah tidak berfungsi. Baru pada tahun 1950, tempat ini dijadikan tempat ibadah atau klenteng bagi umat Konghucu.
Menurut Teddy, Klenteng Talang merupakan salah satu klenteng tertua di Kota Cirebon, bahkan tertua kedua di Indonesia. Yang pertama adalah Klenteng Hong Tiek yang ada di Surabaya.
Sempat ada perdebatan antara beberapa kalangan, jika Klenteng Talang bukanlah klenteng tertua di Kota Cirebon, melainkan Vihara Dewi Welas Asih. Karena, jika merujuk kepada fungsinya sebagai tempat peribadatan, memang Klenteng Talang masih baru, karena baru difungsikan pada tahun 1950. Apalagi, Vihara Dewi Welas Asih sejak awal berdiri pada 1559, memang difungsikan sebagai tempat ibadah.
Namun, jika dirujuk pada usia bangunan, maka Klenteng Talang merupakan yang tertua. Hal tersebut wajar karena bangunan klenteng ini merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Cirebon. Apalagi, bangunan ini dibangun pada tahun 1415, di mana tanah tempat Vihara Dewi Welas Asih sekarang berdiri dulunya masih laut.
“Kalau dari bangunan, klenteng ini merupakan yang tertua,” tuturnya.
Adapun nama Talang sendiri, lanjut Teddy, berasal dari dari kata Toa Lang, yang berarti orang besar atau tuan besar. Istilah tersebut ditunjukkan kepada tiga orang laksamana yang kesemuanya itu beragama Islam yaitu Cheng Ho, Fa Wan, dan Khung Wu Fung. Karena masyarakat Cirebon susah melafalkan kata Toa Lang, maka akhirnya masyarakat menyebutnya Klenteng Talang.
Teddy menambahkan, terkadang ada orang yang berpikir kalau Klenteng Talang ini bangunannya mirip masjid, tapi bukan. Dari dulu ini tetap Klenteng cuma memang anak buah Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam di sini semua, bahkan beribadah di sini juga.
Teddy juga mengaku, hubungan masyarakat Tionghoa dengan orang Cirebon sangatlah harmonis. Hal itu ditunjukan dengan adanya pejabat di Kesultanan Cirebon yang beretnis Tionghoa.
“Walaupun keharmonisan itu sempat diganggu oleh Belanda, dengan menerapkan sistem politik adu domba, nyatanya hingga sekarang hubungan baik masyarakat Cirebon dan Tionghoa masih terjalin sampai saat ini,” pungkasnya.(Jfr)
Leave a Reply