DEJABAR.ID, CIREBON – Jika berbicara tentang wilayah Panjunan Kota Cirebon, pastinya orang akan langsung tercetus jika di situ merupakan kawasan Kampung Arab. Hal tersebut bukan mustahil, karena di kawasan tersebut banyak ditemukan warga keturunan Arab yang bertebaran, mulai dari Jalan Panjunan, Jalan Pekarungan, Jalan Kolektoran, Jalan Pesayangan, dan Jalan Pengobongan.
Keberadaan warga keturunan Arab di kawasn Panjunan ini tidak terlepas dari sejarah Cirebon pada masa Sunan Gunung Jati. Karena, selain etnis Jawa dan Sunda, etnis Tionghoa dan Arab pun memiliki peran besar dalam sejarah Cirebon hingga kini. Dan salah satu buktinya adalah keberadaan Masjid Merah Panjunan yang merupakan akulturasi budaya Arab, Tionghoa, dan Hindu Buddha.
Menurut budayawan Cirebon, Nurdin M Noor, kedatangan masyarakat Arab ke Cirebon terjadi sekitar abad ke 15. Warga Arab yang datang pertama kali ke Cirebon adalah Syarif Abdurrakhman atau yang dikenal dengan Pangeran Panjunan, serta ketiga adiknya. Mereka diperintahkan oleh ayahnya, Sultan Bagdad, untuk bermigrasi ke Jawa Dwipa atau Pulau Jawa dan menuntut ilmu.
Di Cirebon, mereka berguru kepada Syekh Nurjati di Pesambangan Gunung Jati. Oleh Syekh Nurjati, mereka diperkenalkan kepada Pangeran Cakrabuana. Setelah diterima dengan baik, Pangeran Cakrabuana memerintahkan Syarif Abdurakhman untuk membangun pemukiman yang sekarang dinamai Panjunan.
Kemudian, setelah Sunan Gunung Jati memerintah Kesultanan Cirebon, beliau membagi wilayah berdasarkan suku bangsanya. Hal itu dikarenakan banyak warga Arab yang memilih menetap dan menikah dengan pribumi. Wilayah Panjunan pun dipilih sebagai basis warga keturunan Arab.
“Banyak warga Arab yang datang ke Cirebon lalu menetap, kemudian menikah dengan warga pribumi. Karena itu, wilayah Panjunan menjadi kawasan warga keturunan Arab,” jelasnya, Minggu (31/3/2019).
Pangeran Panjunan dipercaya untuk memimpin dan mengayomi masyarakat Panjunan dengan memberikan masyarakat tanah liat. Kemudian, tanah liat itu dibuat menjadi gerabah oleh masyarakat. Karena itu juga, wilayah tersebut dinamakan Panjunan, yang berarti tempat pembuatan gerabah dari tanah liat.
Wajah kawasan Panjunan pun kini berubah, dari yang dulunya merupakan pusat kerajinan tanah liat, kini sudah jadi pertokoan. Masyarakat Arab pun sudah berbaur dengan warga lainnya, seperti masyarakat Sunda, Jawa, dan Tionghoa.
Meskipun sudah banyak warga campuran, namun masyarakat Cirebon tetap menamai kawasan Panjunan sebagai Kampung Arab. Di kawasan ini pula masih ditemukan rumah-rumah dan bangunan tua milik warga Arab.
“Kini Panjunan pun menjadi pusat elektronik dan minyak wangi di Kota Cirebon, hanya tersisa tidak lebih dari lima toko yang menjual hasil kerajinan dari tanah liat,” pungkasnya.(Jfr)
Leave a Reply