DEJABAR.ID, CIREBON – Kota Cirebon memiliki masjid-masjid peninggalan Kesultanan Cirebon yang sangat unik dan bersejarah. Salah satunya adalah Masjid Merah Panjunan yang terletak di Jalan Kolektoran, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Dinamakan dengan masjid Merah karena hampir keseluruhan masjid ini berwarna merah. Sedangkan nama Panjunan sendiri diambil dari nama Pangeran Panjunan, yang merupakan pendiri masjid Merah Panjunan pada tahun 1480 M.
Menurut budayawan Cirebon, Nurdin M Noer, Pangeran Panjunan merupakan warga keturunan Arab yang datang ke Cirebon pada sekitar abad ke 15. Nama aslinya adalah Syarif Abdurrakhman. Dia mendirikan masjid di daerah yang kini dikenal dengan Panjunan atau Kampung Arab di Cirebon, atas izin Ki Kuwu Pangeran Cakrabuwana.
Awalnya Pangeran Panjunan hanya membangun sebuah suatu kecil saja yang bernama al-Athyah. Kemudian sekitar tahun 1549 M, Kesultanan Cirebon yang kala itu dipimpin oleh Panembahan Ratu yang merupakan cicit Sunan Gunung Jati, membangun tembok yang mengelilingi Masjid Merah Panjunan yang terbuat dari bata merah setinggi 1,5 m dan ketebalan 40 cm, beserta gapura bergaya candi bentar yang berwarna merah. Sejak itulah, masjid itu dikenal dengan Masjid Merah Panjunan.
“Jadi, sebutan merah ini karena gapura dan susunan batanya yang berwarna merah,” jelasnya, Minggu (31/3/2019).
Susunan batu bata merah di pintu gapuranya memperlihatkan akulturasi pengaruh budaya Hindu dari zaman Majapahit, yang banyak bertebaran di daerah Cirebon. Sementara, gaya bangunan masjid perpaduan gaya Arab dan Tionghoa. Bagian depan menyerupai klenteng, sedangkan bagian dalamnya bergaya Arab. Selain itu, umpak pada tiang penyangga juga memperlihatkan pengaruh kebudayaan lama.
Sama seperti bangunan-bangunan bersejarah peninggalan Kesultanan Cirebon lainnya, di masjid ini juga banyak piring keramik yang menempel pada dinding. Hal ini memperlihatkan pengaruh budaya Tionghoa di masjid ini. Beberapa keramik buatan Tionghoa yang menempel pada dinding konon merupakan bagian dari hadiah ketika Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Ong Tien.
Pada bangunan mihrabnya, yaitu bagian yang menunjukkan arah kiblat, juga dihiasi dengan keramik yang indah. Lengkung pada mihrab pun yang berbentuk Paduraksa juga memperlihatkan pengaruh budaya lama. Menariknya, selain keramik Tionghoa, juga terdapat keramik buatan Belanda yang menempel pada dinding Masjid Merah Panjunan ini.
Keunikan lain dari masjid ini, terletak pada jumlah pilar di dalam mesjid sebanyak 17 buah. Jumlah pilar tersebut memaknai jumlah salat lima waktu. Bentuk pilar bulat dengan umpak yang juga berbentuk bulat hanya terdapat di baris depan, yang tampaknya berfungsi sebagai sokoguru, yang pada kebanyakan bangunan tradisional lain diletakkan dalam posisi segi empat. Pilar kayu lainnya berbentuk segi empat sebagaimana bentuk umpaknya.
Kemudian, pintu untuk masuk ke dalam berukuran kecil dan setiap orang yang masuk untuk salat di Masjid Merah harus menunduk. Pintu tersebut menandakan sifat rendah hati dan harus selalu menunduk saat akan menghadap Allah.
Nurdin menjelaskan, Masjid Merah Panjunan awalnya sebuah surau yang menjadi tempat peribadatan kedua setelah Masjid Pejlagrahan yang berada di Kampung Siti Mulya atau sebelah timur Keraton Kasepuhan. Pada masa Sunan Gunung Jati, surau itu kerap digunakan untuk pengajian dan musyawarah para wali.
Karena itu, di Masjid Merah Panjunan ini memang tidak ada mimbar, karena hanya digunakan untuk sholat sehari-hari, tidak untuk ibadah sholat Jumat, atau sholat berjamaah di Hari Raya Islam.
“Masjid Merah hanya digunakan untuk salat lima waktu dan acara pengajian rutin. Sedangkan untuk salat Jumat, hanya ada di masjid agung dan masjid-masjid lainnya,” pungkasnya.(Jfr)
Leave a Reply