DEJABAR.ID, CIREBON – Selain Keraton Kesepuhan, tempat bersejarah dalam Kesultanan Islam di Cirebon adalah Lawang Sanga. Tempat ini memiliki peranan penting dalam perkembangan Kesultanan Islam di Cirebon pada masa lalu. Namun sayangnya, masih banyak yang belum mengetahui mengenai sejarahnya.
Lawang Sanga merupakan bangunan kecil bersejarah dan termasuk dalam bangunan cagar budaya yang terletak di tepi Sungai Kriyan, tepatnya di bagian belakang Keraton Kasepuhan, RT 9 RW 2 Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.
Dalam naskah Negara Kertabumi, Lawang Sanga dibangun dalam rangka persiapan infrastruktur Gotrasawala yang dilaksanakan oleh Pangeran Wangsakerta pada masa Sultan Sepuh I Syamsudin Martawawijaya, pada abad ke 17, tepatnya tahun 1677 Masehi. Di sini merupakan gerbang tempat berlabuhnya perahu dan pintu masuk melalui sungai Kriyan bagi para utusan dari kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk menerima upeti, yang pada waktu itu memang jalur lautlah yang aman bagi perjalanan.
“Tempat ini merupakan gerbang masuk para tamu-tamu dari Tiongkok, Gujarat, Campa, Arab yang membawa upeti untuk diserahkan kepada sultan,” jelas juru kunci Lawang Sanga, Suwari (71), saat ditemui dejabar.id, Rabu (26/9/2018).
Suwari menjelaskan, nama Lawang Sanga diambil dari bahasa Cirebon, Lawang yang berarti pintu, dan Sanga yang berarti sembilan. Dengan demikian, Lawang Sanga berarti sembilan pintu. Meskipun begitu, hanya satu pintu yang memiliki daun pintu yang bisa dibuka tutup. Daun pintu tersebut terbuat dari kayu jati. Sedangkan yang lainnya tanpa daun yang mengelilingi satu pintu tersebut. Namun, ada satu buah pintu yang sudah runtuh. Sehingga saat ini jumlahnya tinggal delapan.
Menurut Suwari, pintu berjumlah sembilan ini memiliki filosofi lambang dari sembilan lubang hawa yang ada pada tubuh manusia, yakni dua lubang di hidung, satu lubang di mulut, dua lubang di telinga, dua lubang di mata, satu lubang di pantat, dan satu lubang di alat kelamin. Sehingga, kesembilan lubang tersebut harus selalu dijaga agar tetap bersih.
“Manusia harus memfungsikan kesembilan lubang tersebut menurut ketentuan dan kepatutannya, sehingga nantinya akan memperoleh derajat yang mulia,” jelasnya.
Bangunan Lawang Sanga sendiri mempunyai gaya arsitektur yang unik, karena merupakan perpaduan dari berbagai unsur budaya, yaitu Hindu, Arab, dan Tiongkok. Konstruksi atap bangunan berbentuk seperti atap tajug atau musola, yang berdiri di atas gunungan dengan bentuk lengkung lancip di atasnya atau berbentuk kujang, dengan bagian serambi depan dan belakang ditopang oleh dua buah sekur yang mempunyai gaya yang hampir sama dengan sekur-sekur pada bangunan Tiongkok.
Konstruksi tajug yang berbentuk piramid berdiri di atas sekur, sehingga gaya beban dari kostruksi atap tidak ditopang oleh dinding dan gunungan, akan tetapi disalurkan melalui sekur dan tiang kolom. Konstruksi atap terbuat dari kayu jati dengan penutup atap dari genteng keramik. Sedangkan di bagian dinding terdapat daun pintu yang cukup besar terbuat dari kayu jati.
Konstruksi atap bangunan ini tidak menggunakan paku sebagai penguat struktur dan sambungannya, melainkan hanya menggunakan pasak dari kayu. Kondisi struktur atap bangunan di bagian belakang sudah mengalami penurunan sehingga pada sekur-sekurnya ditopang oleh tiang kayu agar tetap berdiri.
Bangunan Lawang Sanga mengalami renovasi pada tahun 1999 di bagian atapnya. Kemudian, pada bulan Oktober 2014, Lawang Sanga diperbaiki dengan anggaran Revitalisasi Keraton. Namun perbaikan sendiri baru menyentuh atap saja, dengan mengganti kusen kayu jati yang sudah lapuk. Pohon-pohon besar yang menaungi Lawang Sanga pun sengaja ditebang untuk mencegah kalau terjadi runtuh akibat diterpa angin kencang.
“Anggaran untuk renovasi masih minim. Yang paling baru hanya pagar untuk membatasi aktivitas warga dengan area Lawang Sanga,” tutur Suwari.
Lawang Sanga, lanjut Suwari, erat kaitannya dengan sejarah para wali. Konon, di sini merupakan tempat perkumpulan para wali berunding melakukan dakwah dan penyebaran Islam di tanah Jawa. Setelah selesai berunding, kemudian mereka berangkat menggunakan perahu di sungai Kriyan, untuk menjalani tugas masing-masing.
Di lain sisi, masyarakat sekitar sendiri setiap tahunnya selalu menggelar tradisi Barikan. Tradisi ini dilakukan pada tanggal 10 Muharam. Pada saat itu, pintu utama Lawang Sanga dibuka dari pukul 17.00 WIB hingga kemudian bada Isya menggelar tawasul lalu ditutup kembali.
“Selain itu, masyarakat juga berziarah di Lawang Sanga pada bulan Mulud dan Safar,” pungkasnya. (jfr)
Leave a Reply