Press ESC to close

Sejarawan Bonnie Triyana Bicara di Parlemen Belanda

  • May 25, 2022

KOTA BANDUNG,- Sejarawan Bonnie Triyana memenuhi undangan bicara dalam rapat dengar pendapat dengan anggota Tweede Kamer (Parlemen), Senin, 23 Mei sore waktu Belanda.

Tweede Kamer mengundang Bonnie dalam kapasitasnya sebagai sejarawan Indonesia untuk meminta pendapat atas penelitian mengenai kekerasan yang dilakukan militer Belanda pada era revolusi kemerdekaan Indonesia 1945 – 1949.

Selain Bonnie, turut pula diundang hadir Duta Besar RI Mayerfas untuk bicara di dalam rapat dengar pendapat. Namun sesi pertemuan Dubes RI diselenggarakan secara tertutup.

Terpisah dari sesi tertutupnya untuk Dubes Mayerfas, Bonnie Triyana sebagai sejarawan pertama Indonesia mengambil kesempatan dalam forum itu untuk lebih memberi “pencerahan” bahwa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1949 bukan hanya kekerasan ekstrem dan persoalan seruan “Bersiap!” yang belakangan jadi sorotan.

Berbicara pada sesi 23 Mei 2022 pukul tiga sore waktu setempat, Bonnie memaparkan isu kekerasan terkait penelitian dekolonisasi tersebut punya benang sejarah nan panjang ke belakang.

Di Indonesia sendiri terdapat dua perspektif dalam melihat periode kekerasan 1945-1949.

“Pertama, ada perspektif atau pemahaman bahwa kekerasan itu adalah buah dari pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945). Perdana Menteri pertama Indonesia Sutan Sjahrir menuliskan brosur, Our Struggle, di akhir 1945 yang memaparkan argumennya bahwa para pemuda terpengaruh propaganda Jepang,” kata Bonnie dalam pemaparannya lewat bahasa Inggris.

Kekerasan itu terjadi di masa transisi di mana golongan masyarakat yang tertindas sebelum kedatangan Jepang berbalik melawan golongan bangsawan, eks-pegawai kolonial dari beragam latarbelakang etnisitas: Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, Ambon, Manado.

Di kalangan Indo-Belanda, periode kekerasan ini mereka sebut dengan “Bersiap!”.

“Faktanya ada banyak seruan di Indonesia yang digunakan rakyat saat ini. Seperti misalnya ‘Dombreng!’. Jadi sebenarnya ada kata lain yang digunakan untuk mengacu tentang masa-masa kekerasan ini,” jelasnya.

Kedua, adalah perspektif di mana kekerasan itu lahir sebagai hasil sistem kolonial. Setelah pemerintah Belanda menganeksasi Hindia Timur yang sebelumnya dipegang Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), pemerintah kolonial menetapkan banyak kebijakan rasis.

Salah satunya Regeerings Reglement 1854 yang mengkotak-kotakkan masyarakat menjadi tiga golongan: Europeanen (golongan Eropa), Vreemde Oosterlingen (golongan Timur Jauh) dan Inlanders (pribumi).

Seiring waktu, penindasan yang terjadi baik lewat kebijakan-kebijakan rasis imperialis maupun penaklukan daerah-daerah Nusantara lewat kekerasan, jadi pupuk penyubur gerakan-gerakan nasionalis yang mengambil momentum besarnya ketika Jepang menumbangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Ketika Jepang menyerah pada Sekutu, 15 Agustus 1945, situasi berubah dengan cepat dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus oleh Sukarno-Hatta.

“Para pemuda berinisiatif mengambilalih kekuasaan. Kemudian revolusi Indonesia tidak hanya digambarkan dalam satu periode kekerasan. Faktanya revolusi itu tentang tingginya motivasi rakyat untuk bisa hidup lebih baik. Revolusi Indonesia melibatkan banyak orang dari aneka latarbelakang: akademisi, seniman, sastrawan, jurnalis, diplomat, perempuan, petani, buruh, dan pelajar yang berpartisipasi lewat banyak cara,” terang Bonnie lagi.

Lantaran keterbatasan waktu, ketua forum, Agnes Mulder, menyela penjelasan itu demi bisa memberi kesempatan pada tiga anggota parlemen untuk bertanya.

Ruben Brekelmans dari Partai VVD (Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi) dan Corinne Ellemeet dari Partai Groen Links menanyakan hal sama, tentang apa pandangan dan makna penelitian itu bagi Indonesia.

Sedangkan Simone Kerseboom dari FvD (Partai Forum untuk Demokrasi) menitikberatkan pada beban masa lalu bagi kedua pihak.

Bonnie menjawabnya dengan mengulang pembicaraan tentang pengalaman salah satu mentornya, sejarawan Anhar Gonggong. Sebagaimana diketahui, ayah, dua saudara, dan paman Anhar turut jadi korban kekerasan jagal kondang Kapten Raymond Westerling di Sulawesi (1946-1947).

“Ketika saya tanya apakah dia ingin kompensasi? Dia jawab, ‘Tidak. Karena ayah saya, dua saudara saya, dan dua paman saya sudah melakukan tugasnya untuk memerdekakan rakyat kami.’ Jadi selalu ada dua perspektif dalam melihat situasi (kekerasan) ini, seperti dua sisi mata uang di (sudut pandang) Indonesia,” kata Bonnie.

Sementara, terkait apa arti penelitiannya, Bonnie menilai penelitian itu justru jadi jawaban bagi banyak pertanyaan dari masyarakat Belanda sendiri bahwa penelitian itu mestinya jadi awal untuk membuka pintu pemahaman lebih lebar.

Juga sebagai lorong waktu untuk melihat lebih dalam tentang apa yang sudah dilakukan para penguasa Belanda dengan sistem kolonialnya.

“Jadi saya pikir kita harus melihat semua perspektif. Bukan hanya melihat dari periode pendek revolusi ini. Kadang orang memahami kekerasan ini hanya 1945-1949, tapi ceritanya berakar kuat kepada sistem kolonial. Anda bilang kekerasan 1945-1949 karena pengaruh fasisme Jepang. Tapi bagaimana dengan Perang Aceh? Bagaimana orang-orang dibantai di pedalaman lain? Kita harus melihat lebih luas bukan hanya karena retaliation feeling. Harus lebih peaceful melihat sejarah ini,” sambungnya.

Dalam melihat fakta historis itu, Bonnie berupaya lebih obyektif. Selain merupakan laku serdadu Belanda, kekerasan juga dilakukan pihak Indonesia dalam periode empat tahun revolusi tersebut.

“Dan saya pikir penting untuk tidak men-downgrade revolusi Indonesia dengan menggambarkan bahwa revolusi hanya tentang kekerasan atau tentang ‘Bersiap!’. Tapi sebagai sejarawan, saya mengakui adanya kekerasan. Tapi saya pikir penting untuk melihatnya (dalam) bingkai besar sejarahnya secara keseluruhan,” tandas Bonnie.

Dalam kesempatan itu Bonnie juga menyerukan agar Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia secara legal. Seperti diketahui hingga hari ini Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia 27 Desember 1949 melalui penyerahan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Belanda tidak pernah mengakui secara legal proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

“Tentu ini kesempatan baik untuk menyampaikan bahwa ada beban yang masih tertinggal di belakang. Sejarah memberikan landasan bagi kita untuk berjalan ke masa yang akan datang. Oleh karena itu, pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi penting sebagai cara melepaskan beban yang tertinggal di masa lalu,” kata sejarawan kelahiran Rangkasbitung, Banten itu di hadapan anggota parlemen Belanda. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *