DEJABAR.ID, MAJALENGKA – Edi (70 tahun) dan Miskar (60 tahun), warga Blok Karapyak, Desa Leiwiseeng, Kecamatan Panyingkiran, Kabupaten Majalengka dua warga yang hingga kini masih terus menekuni pembuatan berem (brem) khas Majalengka meneruskan warisan orang tua mereka.
Brem yang di Majalengka dikenal dengan sebutan berem ini berbeda. Baik warna ataupun bentuknya dengan brem produk lain di Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Berem Majalengka warnanya putih bersih seperti kertas dan bentuknya tipis kecil melingkar berdiameter sekitar 4 hingga 5 cm saja.
Hanya untuk rasa tentu berbeda, berem Majalengka lebih manis dan manisnya benar-benar alami air ketan, begitu masuk ke lidah terasa dingin dan langsung hancur. Tanpa soda dan campuran apapun karena benar-benar 100 persen terbuat dari air ketan yang dikeringkan.
Berem Majalengka ada dua bentuk satu seluruhnya terbuat dari air ketan dan satu lagi berasal dari ampasnya yang dicetak kemudian dimasukkan ke air ketan hingga sedikit putih setelah mengering. Keduanya rasanya tetap enak.
Dulu, menurut Edi dan Miskar, semasa orang tuanya masih ada, ada sejumlah warga di kampungnya yang membuat berem. Namun kini yang melanjutkan pembuatan makanan tersebut tinggal dua orang.
Edi meneruskan, orang tuanya Saniti dan Rati. Dia kini setiap hari membuat sekitar 1800 berem yang berasal dari 10 kg beras ketan. Berem setiap harinya dijual oleh tiga orang pedagang yang menjajakan barangnya di sejumlah pasar tradisional seperti Kadipaten, Maja dan hari pasar di Panjalin, Majalengka.
Sedangkan Miskar, barangnya dijual sendiri ke pasar-pasar seharga Rp 200 per buah atau dibungkus setiap bungkusnya seharga Rp 5.000 untuk berem murni dari air ketan dan ampasnya Rp 1.000 per bungkus.
“Ini benar-benar air ketan murni tanpa campuran apapun. Pembuatannya cukup lama mencapai 6 hari,” kata Miskar, Selasa (25/9/2018).
Dijelaskan dia, langkah-langkah proses pembuatan yaitu pertama beras ketan dicuci hingga bersih setelah itu direndam selama 7 jam, baru di tanah. Setelah itu didinginkan dan nasi ketan dicuci kembali kemudian dituruskan selama kurang lebih 4 jam, baru dibubuhi ragi. Disimpan hingga 6 hari baru airnya diperas hingga ampasnya benar-benar sedikit.
Air tape dijemur di cowet gerabah di tengah terik matahari hingga kental. Setelah mengental air tape disaring baru di cerak di plastik menggunakan sendok. Maka tak heran, bila berem Majalengka ini tipis hingga mudah hancur karena dicetak di plastik datar.
Edi mengaku, pernah mendapat pesanan dari Madiun hingga diberikan modal Rp 5 juta namun dia tidak bisa memenuhi pesanan tersebut karena ternyata merugi. Dia tidak bisa membuat brem seperti yang dipesan, karena tak mampu membuat campurannya.
Menurut Edi dan Miskar, berem mereka selain dipasarkan, kini para pembeli terkadang datang ke rumahnya terutama mereka yang memiliki kenangan masa kecil, biasa jajan berem saat di sekolah semasa SD.
Para pembeli yang datang ke rumah adalah orang Majalengka yang kini menetap di Bandung, Bogor, Jakarta dan sejumlah kota lainnya yang masa kecilnya pernah jajan berem.
Trisma, Yuli dan Riski yang kini menetap di Bandung misalnya mereka saat pulang ke Majalengka selalu saja membeli berem, jika tidak datang mereka membeli di Alun-alun kota Majalengka saat hari Minggu karena kebetulan Miskar setiap hari Minggu berjualan di Alun-alun.
“Dulu ketika kecil ada yang berjualan keliling ke rumah, setiap pagi saya membeli untuk di bawa ke sekolah atau disimpan dan baru dimakan saat pulang sekolah. Makanya sekarang tiap pulang pasti membeli berem, atau jika tidak pulangpun terkadang pesen minta dibelikan,” unglap Trisma.
Sementara itu menurut Dede yang merupakan pembuat brem di Dusun Rajakepok, Desa Bantrangsana, Kecamatan Panyingkiran. Sejak kecil pria kurus ini belajar membuat brem dari sang ayah.
Desa Bantrangsana dulunya dikenal sebagai desa pembuat brem. Namun peminat brem semakin berkurang. Di desa tersebut hanya menyisakan dua pembuat brem. Satu di antaranya Dede. Sekarang banyak yang beralih membuat rengginang. (jja)
Leave a Reply