DEJABAR.ID, KUNINGAN – Dalam rangka ungkapan syukur kepada Tuhan atas rezeki dari hasil pertanian yang didapatkan, masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan menggelar acara Seren Taun, di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Senin (3/9/2018).
Seren Taun merupakan acara adat pelepasan tahun, diadakan di akhir tahun dan mendekati pengujung awal Tahun Baru Saka. Upacara ini diselenggarakan setiap tahun tanggal 22 Rayagung atau bulan terakhir kalender Sunda dan sudah ada sejak ratusan tahun sejak Kerajaan Pajajaran hingga saat ini. Lokasi upacara dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840.
Menurut Ketua Pelaksana acara Seren Taun masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur, Dewi Kanti, Seren Taun merupakan salah satu upaya dan tekad dari masyarakat adat Sunda Cigugur untuk terus melestarikan budayanya. Dan juga, akan melakukan upaya perlindungan terhadap hukum-hukum adat warisan dari para leluhurnya.
“Seperti filosofi Prabu Niskala Wastu Kancana menyebutkan, pakena gawe rahayu pikeun heubeul jaya dina buana, berbuat baiklah agar lama jaya di dunia. Kebaikan sosial yang berdampak bagi masyarakat banyak itulah yang diajarkan dalam Tradisi Seren Taun,” jelas Dewi Kanti.
Senin pagi ini, upacara adat Seren Taun yang diadakan di kaki Gunung Ciremai Kuningan, digelar dengan berbagai ritual nan kaya nilai budaya. Di antaranya prosesi Tari Buyung yang gerakannya menggambarkan penyelarasan manusia dengan alam. Dalam tarian itu, manusia diajak untuk lebih dekat dengan alam dan mencintainya sebagai sahabat yang harus terus berjalan bersama.
Dewi menjelaskan, puncak upacara Seren Taun berupa festival arak-arakan masyarakat, yang terdiri dari empat formasi barisan muda-mudi, ibu-ibu, bapak-bapak, dan rombongan atraksi kesenian yang membawa hasil panen dari empat penjuru Cigugur. Barisan terdepan, membawa padi, buah-buahan, dan umbi-umbian yang diikuti oleh seorang pemuda membawa payung janur bersusun tiga.
Di belakangnya, ada 11 pemudi membawa padi bibit dipayungi para jejaka. Jumlah sebelas melambangkan simbol saling mengasihi (welas asih). Baris ketiga, terdapat rombongan ibu-ibu yang membawa padi di atas kepala (nyuhun); sedangkan baris keempat, rombongan bapak-bapak memikul padi dengan rengkong dan pikulan biasa.
“Inilah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki dari hasil pertanian. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang,” tuturnya.
Sedangkan menurut Bupati Kuningan Acep Purnama, di samping sebagai aset di bidang kepariwisataan, Seren Taun mempunyai nilai tinggi bagi Kabupaten Kuningan yang sangat kaya warisan kebudayaan.
“Tan Hana Nguni Tan Hana Mangke, kalau tak ada masa lalu, tak ada masa sekarang,” jelasnya Acep Purnama.
Acep juga menegaskan, Kecamatan Cigugur merupakan miniatur dari Indonesia. Sebab, beragam etnis suku dan agama ada di sini. “Karena itu, perbedaan bukanlah sebuah hambatan, tapi sebuah khasanah, keindahan yang harus kita hormati,” pungkasnya.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut Kepala Staf Kepresidenan sekaligus Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Moeldoko, beserta Penjabat Gubernur Jawa Barat Mochamad Iriawan.(jfr)
Leave a Reply