DEJABAR.ID, CIREBON – Situs bersejarah Lawang Sanga merupakan situs peninggalan Keraton Kesepuhan yang sangat penting. Situs ini terletak di tepi Sungai Kriyan, tepatnya di bagian belakang Keraton Kasepuhan, RT 9 RW 2 Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.
Lawang Sanga merupakan gerbang tempat berlabuhnya perahu dan pintu masuk melalui sungai Kriyan bagi para utusan dari kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk menerima upeti, yang pada waktu itu memang jalur lautlah yang aman bagi perjalanan.
Dalam perkembangannya, situs Lawang Sanga menyimpan mitos di lingkungan masyarakat Cirebon, yakni sosok buaya putih. Buaya ini kerap muncul di antara Sungai Kriyan dan situs Lawang Sanga. Masyarakat mempercayai kalau buaya putih tersebut merupakan penjaga dari Lawang Sanga.
Menurut juru kunci Lawang Sanga, Suwari (71), buaya putih yang hidup di Sungai Kriyan tersebut merupakan jelmaan salah seorang putra dari Sultan Sepuh I Syamsudin Martawijaya bernama Elang Angka Wijaya. Dia dikutuk menjadi siluman buaya putih, karena tidak pernah patuh terhadap ayahnya semasa hidupnya.
“Siluman buaya putih merupakan perwujudan dari Elang Angka Wijaya yang dikutuk oleh ayahnya,” jelasnya saat ditemui dejabar.id, Rabu (26/9/2018).
Suwari menceritakan, Elang Angka Wijaya ini memiliki kebiasaan kalau makan sambil tiduran atau tengkurap. Sultan Syamsudin selalu menasihatinya agar tidak seperti itu, namun selalu diabaikan oleh Elang. Hingga akhirnya, Sultan mengatakan bahwa kalau makan sambil tengkurap akan seperti buaya.
“Ucapan orang tua zaman dulu kan manjur. Akhirnya Elang perlahan berubah menjadi buaya putih,” tuturnya.
Sejak menjelma menjadi buaya putih, Elang Angka Wijaya hidup di salah satu kolam yang berada di salah satu bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon. Namun, menginjak usia dewasa, buaya putih tersebut pindah ke kawasan Sungai Kriyan karena ingin tempat yang lebih luas.
Saat pindah, buaya putih atau jelmaan dari Elang Angka Wijaya tersebut diminta oleh sang ayah agar tidak memakan dan mengganggu orang-orang di sekitar kawasan keraton. Jika dia mau makan, maka harus di tempat yang jauh dari Keraton, seperti di hulu sungai Kriyan.
Menurut Suwari, cerita rakyat mengenai buaya putih di Cirebon ini menjadi pelajaran penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena, sangat berkaitan erat dengan kesantunan dan perintah dari orang tua. Hingga saat ini, masyarakat sekitar sungai Kriyan masih mempercayai mitos buaya putih tersebut.
“Sempat ada yang melihat buaya putih di sekitar sumur di dekat keraton. Buaya itu tertangkap kamera. Lalu, sekelebat kemudian menghilang lagi,” jelasnya.
Meskipun berbentuk buaya, namun buaya putih jelmaan Elang Angka Wijaya tidak buas dan galak. Kemungkinan hal tersebut berkaitan dengan perintah dari Sultan Syamsudin. Untuk bisa melihat buaya putih, lanjut Suwari, haruslah memiliki raga dan pikiran yang suci. Bahkan, ada tradisi tersendiri saat masyarakat sekitar melihat buaya putih.
“Masyarakat biasanya lempar tumpengan ke sungai Kriyan kalau ada yang melihat buaya putih. Tujuannya agar sama-sama menjaga lingkungan,” pungkasnya. (jfr)
Leave a Reply