DEJABAR.ID, PANGANDARAN – Seorang kasepuhan Aki Ajim mengurai kembali pemahaman falsafah Kacijulangan yang saat ini jarang diketahui oleh publik dan nyaris punah.
Pasalnya, tradisi tersebut hampir punah lantaran minimnya pelaku pembaca. Untuk itu agar tetap lestari harus dilakukan secara rutin tiap tahun.
Dalam pemaparannya, Aki Ajim menyebutkan bahwa sejarah Kacijulangan memiliki arti yang sangat sakral lantaran erat kaitannya dengan kehidupan.
“Kacijulangan dalam kitab purwaningjagat diuraikan sebagai falsafah hidup manusia mengenal jatidirinya menjelang kematian,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (14/9/2018).
Kacijulangan, kata Ajim, bukan nama salah satu daerah Kecamatan (Cijulang) yang saat ini membawahi 7 Desa, tetapi Kacijulangan merupakan ajaran dan falsafah yang memiliki siloka ketauhidan.
“Pada dasarnya manusia diciptakan dari air melalui proses pernikahan antara pria dengan wanita, setelah lahir ke muka bumi manusia menjalani kehidupan,” bebernya.
Ajim mengatakan, Dalam kitab Purwaningjagat bahwa manusia memiliki beberapa sifat diantaranya, sifat nafsu lawamah yang selalu berkeinginan menguasai duniawi, sifat nafsu amarah yang memiliki karakter buruk kepada sesame manusia, sifat nafsu sawiah yang menuju ketasawufan atau irfani dan sifat nafsu mutma’inah nafsu yang sempurna dan tenang saat terpisahnya raga dan sukma.
“Sifat tersebut digambarkan dalam salah satu pusaka haur Kacijulangan yang berasal dari bambu jenis ampel dengan bentuk dari akarnya lurus dipertengahannya membentuk lingkaran dan ujungnya lurus lagi,” ungkapnya.
Ajim menambahkan bahwa bentuk tersebut memiliki filosofi kehidupan manusia yang tidak seutuhnya lurus, tetapi mengalami beberapa penyimpangan dan akhirnya harus lurus kembali sebelum ajal menjemput.
“Manusia yang sempurna menjelang ajalnya tidak akan tersesat saat menghadapi maut karena telah menguasai dan mengendaalikan jiwa nafsunya,” terang Ajim.
Namun, sambung dia, Pemahaman tersebut jarang diketahui oleh publik lantaran ajaran tersebut kini mulai punah dan jarang diceritakan oleh orang tua dulu pada keturunannya.
“Ajaran Kacijulangan pun kini sudah jarang digunakan oleh masyarakat, lantaran jarang yang tertarik pada patokan atau ketentuan buhun,” sesalnya.
“Salah satu ajaran yang saat ini mulai punah digunakan diantaranya saat seseorang hendak melakukan aktivitas apakah cuaca hujan atau cerah dan saat hendak pergi melaut. Padahal orang tua dulu sebelum pergi ke laut memiliki perhitung dari mulai hari dan melihat bintang dilangit sehingga bisa memprediksi hasil yang akan diraih,” pungkas Ajim. (dry)
Leave a Reply