DEJABAR.ID, CIREBON-Di era kemajuan infrastruktur sekarang, orang-orang berlomba-lomba memperbagus hunian miliknya. Namun, ternyata masih ada saja warga yang masih tinggal di rumah yang sederhana, yakni masih bertahan dengan dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu dan triplek dan beratapkan daun tebu yang telah kering.
Hal tersebut bisa ditemukan di Kampung Keputihan, Desa Kertasari, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Di kampung tersebut, para warga tetap tinggal di rumah sederhana tersebut. Namun, hal itu bukannya mereka tidak mendapat perhatian dari pemerintah atau tidak mau merenovasi rumahnya. Hal tersebut dikarenakan mereka mempertahankan adat dan warisan yang sudah turun temurun ada di kampung tersebut.
Rumah-rumah di kampung tersebut berdiri menyebar, tidak berdempetan. Kampung tersebut didominasi oleh pohon bambu yang juga menyebar. Sehingga, jika memasuki kampung ini, suasana seperti di hutan bambu.
Sekilas dari luar, mereka seperti tertinggal daripada pemukiman penduduk di sekitar. Namun jika ditengok, mereka mempunyai perabotan lainnya yang bisa terbilang tidak murah. Sebut saja seperti sepeda motor, televisi, dan lain-lain.
Menurut salah satu Maskani (60), terdapat sekitar 17 rumah yang ada di Kampung Keputihan yang tetap mempertahankan rumah sederhana yang disebut rumah gribig. Ciri khas rumah ini adalah dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu, terkadang ada yang triplek. Dan juga beratap daun tebu.
Menurutnya, masyarakat di Kampung Keputihan dilarang membuat rumah yang bagus, artinya, dinding rumahnya tidak boleh ditembok semen dan permanen. Karena, kalau melanggar, akan mendapatkan musibah.
“Ada salah satu warga sini yang merenovasi rumahnya dengan tembok permanen. Kemudian, istrinya meninggal,” jelasnya saat ditemui Dejabar.id di kediamannya di Kampung Keputihan, Jumat (23/11/2018).
Larangan tersebut sudah turun temurun dilakukan di kampung tersebut. Hingga sekarang, warga tetap mempertahankannya. Bahkan, sejak adanya musibah tersebut enam tahun yang lalu, warga tidak ada yang berani mengganti dinding rumah mereka dengan semen.
Meskipun dinding rumah tidak boleh disemen, lanjut Maskani, namun lantai masih boleh dikeramik. Atapnya pun bisa diganti dengan seng atau genteng. Namun, kebanyakan warga mengganti atapnya dengan seng. Alasannya agar lebih tahan lama saat datang hujan.
Uniknya lagi, dulu di kampung ini belum ada listrik. Menurut Maskani, alasannya karena takut listrik akan membakar rumah yang hampir semuanya terbuat dari kayu. Namun, setelah diedukasi oleh petugas PLN, pada tahun 2000’an listrik sudah mulai ada di kampung ini.
Maskani sendiri masih menggunakan atap daun tebu di rumahnya. Dia tinggal bersama suami, 4 anaknya, 2 menantunya, dan 2 cucunya. Agar lebih tahan terhadap hujan, Maskani kerap menggantinya setiap setahun sekali atau dua tahun sekali.
“Sebenarnya saya ingin mengganti atapnya sama seng. Karena meskipun daun tebunya sudah diganti, tetap saja bocor. Tapi tidak punya biaya,” jelasnya.
Untuk kesehariannya, Maskani bekerja sebagai penganyam jaring net voli. Sedangkan suaminya bekerja sebagai buruh tani.
Maskani menceritakan, dirinya sempat mencoba membuat kamar mandi yang terbuat dari tembok semen di belakang tumahnya. Namun, belum juga rampung, dia dan suaminya mengalami sakit berkepanjangan. Sehingga, tidak lama kemudian bangunan kamar mandi itu dibongkar.
“Setelah kamar mandi itu dibongkar, saya dan suami saya sembuh dari sakit. Sehingga kami semua tidak berani membangun apapun yang temboknya terbuat dari semen,” pungkasnya.(Jfr)