DEJABAR.ID-Jelang pelaksanaan Piplres 2019, tensi politik semakin tinggi. Baik calon presiden dan wakil presiden serta petahana saling “melempar” pernyataan dan isu-isu yang menarik.
Hanya saja, dalam amatan pengamat komunikasi politik Ari Junaedi ada yang kurang “pas” serta keluar dari substansi persoalan yang mendasar yakni sikap Indonesia terhadap perjuangan rakyat dan bangsa Palestina.
“Jika Prabowo mendukung rencana pemindahan Kedubes Australia ke Yerusalem, saya anggap Prabowo tidak paham sejarah dan patut dipertanyakan keislamannya. Harusnya tim komunikasi Prabowo-Uno memberi briefing terlebih dahulu kepada Ketua Umum Gerindra itu sebelum berpidato. Akibatnya, statement-statement yang dikeluarkan Prabowo menjadi bahan cemoohan, bully serta menggerus elektabilitasnya. Bukankah pasangan Prabowo – Sandi ini didukung PKS dan PAN yang mengklaim mendukung perjuangan Palestina ? Apa fungsi Tim Kampanye Bersama jika perwakilan-perwakilan PKS, PAN serta Demokrat tidak diajak merumuskan bareng-bareng strategi komunikasi Prabowo – Sandi ?,” ungkap Ari Junaedi
Menurut peraih penghargaan World Custom Organization 2014 di bidang tata kelola komunikasi ini, tidak sekali ini saja tentang dukungan pembukaan Kedubes Australia di Yerusalem, Prabowo berbicara “blunder”. Masalah tampang Boyolali, gaji guru disetarakan dengan nominal 20 juta rupiah, merendahkan profesi sopir ojek, Indonesia bubar di 2030, sebagian besar rakyat hidup pas-pasan, profesor fisika yang dimiliki Indonesia hanya satu atau perlunya Indonesia belajar pajak ke Zambia adalah contoh dari pernyataan bekas menantu Soeharto yang mencoreng dan mempermalukan dirinya.
Dari pengalaman Ari Junaedi, dosen dan praktisi komunikasi serta mantan Staf Ahli Bidang Komunikasi SKK Migas ini, jika seorang kandidat dalam kontestasi politik tidak menghargai dan mengindahkan saran dan masukan tim komunikasinya maka bersiap-siaplah untuk “kalah” di pentas politik seperti pemilihan presiden.(red)
Leave a Reply